weLcoMe tO juLie'S wOrLd

thank you for visiting my blog...have a good time and enjoy it!! ^-^

Sunday, July 02, 2006

KISAH MIKHAIL


Jaman dahulu kala di Rusia hidup pasangan suami-istri Simon & Matrena.
Simon yang miskin ini adalah seorang pembuat sepatu.
 
Meskipun hidupnya tidaklah berkecukupan,
Simon adalah seorang yang mensyukuri hidupnya yang pas-pasan.
 
Masih banyak orang lain yang hidup lebih miskin daripada Simon.
 
Banyak orang-orang itu yang malah berhutang padanya.
 
Kebanyakan berhutang ongkos pembuatan sepatu.
 
Maklumlah, di Rusia sangat dingin sehingga kepemilikan sepatu dan
mantel
merupakan hal yang mutlak jika tidak mau mati kedinginan.
 
Suatu hari keluarga tersebut hendak membeli mantel baru
karena mantel mereka sudah banyak yang berlubang-lubang.
Uang simpanan mereka hanya 3 rubel (rubel = mata uang Rusia)
 
padahal mantel baru yang paling murah harganya 5 rubel.
 
Kata Matrena pada suaminya, "Simon, tagihlah hutang orang-orang yang
tempo
hari kita buatkan sepatu. Siapa tahu mereka kini punya uang."
 
Maka Simon pun berangkat pergi menagih hutang.
 
Tapi sungguh sial, tak satu pun yang membayar.
 
Hanya ada seorang janda yang memberinya 20 kopek
 
(kopek uang receh Rusia).
 
Dengan sedih Simon pulang. "Batallah rencana kami mempunyai mantel
baru",
pikirnya.
 
Di warung, Simon minum vodka untuk menghangatkan badannya
yang kedinginan dengan uang 20 kopek tadi.
 
Dalam perjalanan pulang, Simon melewati gereja dan saat itu ia
melihat sesosok manusia yang sangat putih bersandar di dinding luar
gereja.
 
Orang itu tak berpakaian dan kelihatan sekali ia sangat kedinginan.
 
Simon ketakutan, "Siapakah dia ? Setankah ?
Ah, daripada terlibat macam-macam lebih baik aku pulang saja".
 
Simon bergegas mempercepat langkahnya sambil sesekali
mengawasi belakangnya, ia takut kalau orang itu tiba-tiba mengejarnya.
Namun ketika semakin jauh, suara hatinya berkata
 
"HAI SIMON, TAK MALUKAH KAU ? KAU PUNYA MANTEL
MESKIPUN SUDAH BERLUBANG-LUBANG, SEDANGKAN ORANG ITU TELANJANG.
PANTASKAH
ORANG MENINGGALKAN SESAMANYA BEGITU SAJA ?"
 
Simon ragu, tapi akhirnya toh ia balik lagi ke tempat orang itu
bersandar.
Ketika sudah dekat, dilihatnya orang itu ternyata pria yang wajahnya
sungguh tampan.
 
Kulitnya bersih seperti kulit bangsawan.
 
Badannya terlihat lemas dan tidak berdaya, namun sorot matanya
menyiratkan
rasa terima kasih yang amat sangat ketika Simon memakaikan
mantel terluarnya kepada orang itu dan memapahnya berdiri.
Ia tidak bisa menjawab sepatah kata pun atas pertanyaan-pertanyaan
Simon,
sehingga Simon memutuskan untuk membawanya pulang.
 
Sesampainya di rumah, Matrena sudah menunggu.
 
Ia marah sekali karena melihat Simon tidak membawa mantel baru,
apalagi ketika dilihatnya Simon membawa seorang pria asing.
 
Dia nyerocos marah-marah, "Simon, siapa ini ? Mana mantel barunya ?
Astaga
! Kau bau vodka. Teganya kau mabuk menghabiskan uang yang seharusnya
kaubelikan mantel !!"
Simon mencoba menyabarkan Matrena,
 
"Sabar, Matrena.... dengar dulu penjelasanku. Aku tidak mabuk, aku
hanya
minum vodka sedikit untuk mengusir hawa dingin. Adapun orang ini
kutemukan di luar gereja, ia kedinginan, jadi kuajak sekalian pulang".
 
"Bohong !! Aku tak percaya.... sudahlah, pokoknya aku tak mau dengar
ceritamu ! Malam ini aku tak akan menyiapkan makan malam.
 
Cari saja makan sendiri ! Sudah tahu kita ini miskin kok masih sok
suci
menolong orang segala !! Usir saja dia !!"
 
"Astaga, Matrena ! Jangan berkata begitu, seharusnya kita bersyukur
karena
kita masih bisa makan dan punya pakaian, sedangkan orang ini telanjang
dan
kelaparan. Tidakkah di hatimu ada sedikit cinta kasih Tuhan ??"
 
Matrena menatap wajah pria asing itu, mendadak ia merasa iba.
 
Tanpa mengomel lagi disiapkannya makan malam sederhana berupa roti
keras
dan bir hangat.
 
"Silakan makan, hanya sebeginilah makanan yang ada. Siapa namamu
dan darimana asalmu ? Bagaimana ceritanya kau bisa telanjang di luar
gereja? Apakah seseorang telah merampokmu ?"
 
Tiba-tiba wajah pria asing itu bercahaya.
 
Mukanya berseri dan ia tersenyum untuk pertama kalinya.
 
"Namaku Mikhail, asalku dari jauh. Sayang sekali banyak yang tak dapat
kuceritakan. Kelak akan tiba saatnya aku boleh menceritakan semua yang
kalian ingin ketahui tentang aku.
Aku akan sangat berterima kasih kalau kalian mau menerimaku bekerja di
sini."
 
"Ah, Mikhail, usaha sepatuku ini cuma usaha kecil. Aku takkan sanggup
menggajimu", demikian Simon menjawab.
 
"Tak apa, Simon. Kalau kau belum sanggup menggajiku, aku tak keberatan
kerja tanpa gaji asalkan aku mendapat makan dan tempat untuk tidur."
 
"Baiklah kalau kau memang mau begitu. Besok kau mulai bekerja".
 
Malamnya pasangan suami-istri itu tak dapat tidur.
 
Mereka bertanya-tanya. "Simon tidakkah kita keliru menerima orang itu
?
 
Kita ini miskin.
Bagaimana jika Mikhail itu ternyata buronan ? Kita bisa terlibat
kesulitan",
Matrena bertanya dengan gelisah pada Simon.
 
Simon menjawab, "Sudahlah Matrena.
 
Percayalah pada penyelenggaraan Tuhan. Biarlah ia tinggal di sini.
 
Tingkah lakunya cukup baik.
 
Kalau ternyata ia berperilaku tidak baik, segera kuusir dia".
 
Esoknya Mikhail mulai bekerja membantu Simon membuat
 
dan memperbaiki sepatu.
 
Di bengkelnya, Simon mengajari Mikhail memintal benang dan membuat
pola
serta menjahit kulit untuk sepatu.
 
Sungguh aneh, baru tiga hari belajar, Mikhail sudah bisa membuat
sepatu
lebih baik dan rapi daripada Simon.
 
Lama kelamaan bengkel sepatu Simon mulai terkenal karena sepatu buatan
Mikhail yang bagus.
 
Banyak pesanan mengalir dari dari desa-desa yang penduduknya kaya.
 
Usaha Simon menjadi maju. Ia tidak lagi miskin.
 
Keluarga itu sangat bersyukur karena mereka sadar, tanpa bantuan
tangan
terampil Mikhail, usaha mereka takkan semaju ini.
 
Namun mereka juga terus bertanya-tanya dalam hati, siapa sebenarnya
Mikhail
ini.
 
Anehnya, selama Mikhail tinggal bersama mereka, baru sekali saja ia
tersenyum, yaitu dulu saat Matrena memberi Mikhail makan.
Namun meski tanpa senyum, muka Mikhail selalu berseri sehingga orang
tak
takut melihat wajahnya.
 
Suatu hari datanglah seorang kaya bersama pelayannya.
Orang itu tinggi besar, galak dan terlihat kejam.
 
"Hai Simon, kudengar kau dan pembantumu pandai membuat sepatu.
Aku minta dibuatkan sepatu yang harus tahan setahun
mengahadapi cuaca dingin.
 
Kalau sepatu itu rusak sebelum setahun, kuseret kau ke muka hakim
untuk
dipenjarakan !!
Ini, kubawakan kulit terbaik untuk bahan sepatu.
 
Awas, hati-hati; ini kulit yang sangat mahal!"
 
Di pojok ruangan, Mikhail yang sedari tadi duduk diam, tiba-tiba
tersenyum.
Mukanya bercahaya, persis seperti dulu ketika ia pertama kalinya
tersenyum.
Orang kaya yang melihatnya membentak,
 
"Hei, tukang sepatu, awas jangan mengejekku, ya !!
 
Bukan hanya majikanmu yang kumasukkan penjara kalau sepatuku jebol
sebelum
setahun.
 
Kau juga takkan lolos dariku !!"
 
Sebenarnya Simon enggan berurusan dengan orang ini.
 
Ia baru saja hendak menolak pesanan itu ketika Mikhail memberi isyarat
agar
ia menerima pesanan itu.
 
Setelah harga disepakati, orang itu pun pergi pulang.
Simon berkata, "Mikhail, kau sajalah yang mengerjakan sepatu itu.
 
Aku sudah mulai tua. Mataku agak kurang awas untuk mengerjakan sepatu
semahal ini.
 
Biar aku mengerjakan pesanan lain saja.
 
Kau berkonsentrasi menyelesaikan pesanan ini.
 
Hati-hati, ya. Aku tak mau salah satu atau malah kita berdua masuk
penjara."
 
Ketika Mikhail selesai mengerjakan sepatu itu, bukan main terkejutnya
Simon. "Astaga, Mikhail, kenapa kaubuat sepatu anak-anak ?
 
Bukankah yang memesan itu orangnya tinggi besar ?
 
Aduh, bagaimana ini ? Celaka, kita bisa masuk penjara karena....",
 
belum selesai Simon berkata, datang si pelayan orang kaya.
 
"Majikanku sudah meninggal. Pesanan dibatalkan.
 
Jika masih ada sisa kulit,
 
istri majikanku minta dibuatkan sepatu anak-anak saja".
 
"Ini, sepatu anak-anak sudah kubuatkan.
Silakan bayar ongkosnya pada Simon",
 
Mikhail menyerahkan sepatu buatannya pada pelayan itu.
 
Pelayan itu terkejut, tapi ia diam saja meskipun heran darimana
Mikhail
tahu
tentang pesanan sepatu anak-anak itu.
 
Tahun demi tahun berlalu, Mikhail tetap tidak pernah tersenyum kecuali
pada
dua kali peristiwa tadi.
 
Meskipun penasaran, Simon dan Matrena tak pernah berani
menyinggung-nyinggung soal asal usul Mikhail karena takut ia akan
meninggalkan mereka.
 
Suatu hari datanglah seorang ibu dengan dua orang anak kembar yang
salah
satu kakinya pincang.
 
Ia minta dibuatkan sepatu untuk kedua anak itu.
 
Simon heran sebab Mikhail tampak sangat gelisah.
 
Mukanya muram, padahal biasanya tidak pernah begitu.
 
Saat mereka hendak pulang, Matrena bertanya pada ibu itu,
"Mengapa salah satu dari si kembar ini kakinya pincang ?"
Ibu itu menjelaskan,
 
"Sebenarnya mereka bukan anak kandungku.
 
Mereka kupungut ketika ibunya meninggal sewaktu melahirkan mereka.
Padahal
belum lama ayah mereka juga meninggal.
 
Kasihan, semalaman ibu mereka yang sudah meninggal itu tergeletak
 
dan menindih salah satu kaki anak ini. Itu sebabnya ia pincang.
 
Aku sendiri tak punya anak, jadi kurawat mereka seperti anakku
sendiri."
 
 
 
"Tuhan Maha Baik, manusia dapat hidup tanpa ayah ibunya, tapi tentu
saja manusia takkan dapat hidup tanpa Tuhannya",
 
Matrena berkata.
 
Mendengar itu, Mikhail tidak lagi gelisah.
 
Ia berseri-seri dan tersenyum untuk ketiga kalinya.
 
Kali ini bukan wajahnya saja yang bercahaya, tapi seluruh tubuhnya.
Sesudah tamu-tamu tersebut pulang, ia membungkuk di depan
Simon dan Matrena sambil berkata,
 
"Maafkan semua kesalahan yang pernah kuperbuat, apalagi telah membuat
gelisah dengan tidak mau menceritakan asal usulku.
 
Aku dihukum Tuhan, tapi hari ini Tuhan telah mengampuni aku.
 
Sekarang aku mohon pamit."
 
Simon dan Matrena tentu saja heran dan terkejut,
 
"Nanti dulu Mikhail, tolong jelaskan pada kami siapakah sebenarnya kau
ini
? Mengapa selama di sini kau hanya tersenyum tiga kali,
 
dan mengapa tubuhmu sekarang bercahaya ?"
 
Mikhail menjawab sambil terus tersenyum,
 
"Sebenarnya aku adalah salah satu malaikat Tuhan.
 
Bertahun-tahun yang lalu Tuhan menugaskan aku menjemput nyawa ibu
kedua
anak tadi.
Aku sempat menolak perintah Tuhan itu meskipun toh
akhirnya kuambil juga nyawa ibu mereka.
 
Aku menganggapNya kejam.
 
Belum lama mereka ditinggal ayahnya, sekarang ibunya harus
meninggalkan
mereka juga.
 
Dalam perjalanan ke surga, Tuhan mengirim badai
 
yang menghempaskanku ke bumi.
Jiwa ibu bayi menghadap Tuhan sendiri.
 
Tuhan berkata padaku,
 
'MIKHAIL, TURUNLAH KE BUMI DAN PELAJARI KETIGA
KEBENARAN INI HINGGA KAU MENGERTI:
 
PERTAMA, APAKAH YANG HIDUP DALAM HATI MANUSIA ?
 
KEDUA, APA YANG TAK DIIJINKAN PADA MANUSIA ?
 
KETIGA, APA YANG PALING DIPERLUKAN MANUSIA ?' "
 
"Aku jatuh di halaman gereja, kedinginan dan kelaparan.
Simon menemukan dan membawaku pulang.
 
Waktu Matrena marah-marah dan hendak mengusir aku, kulihat maut di
belakangnya.
 
Seandainya ia jadi mengusirku, ia pasti mati malam itu.
 
Tapi Simon berkata, 'Tidakkah di hatimu ada sedikit cinta kasih
Tuhan??'
Matrena jatuh iba dan memberi aku makan.
 
Saat itulah aku tahu kebenaran pertama:
 
YANG HIDUP DALAM HATI MANUSIA ADALAH CINTA KASIH TUHAN"
 
"Kemudian ada orang kaya yang memesan sepatu yang tahan
satu tahun sambil marah-marah.
 
Aku melihat maut di belakangnya.
 
Ia tidak tahu ajalnya sudah dekat.
 
Aku tersenyum untuk kedua kalinya.
 
Saat itulah aku tahu kebenaran kedua:
 
MANUSIA TIDAK DIIJINKAN MENGETAHUI MASA DEPANNYA.
 
MASA DEPAN MANUSIA ADA DI TANGAN TUHAN"
 
"Hari ini datang ibu angkat bersama kedua anak kembar tadi.
 
Ibu kandung si kembar itulah yang diperintahkan Tuhan untuk kucabut
nyawanya.
 
Aku menyangsikan apakah si kembar dapat hidup tanpa ayah ibunya
padahal
mereka masih bayi.
 
Tapi ternyata ada seorang ibu lain yang mau merawat dan mengasihi
mereka
seperti anak kandung sendiri.
 
Tadi Matrena berkata, 'Tuhan Maha Baik, manusia dapat hidup tanpa ayah
ibunya, tapi tentu saja manusia takkan dapat hidup tanpa Tuhannya'
 
Aku tersenyum untuk ketiga kalinya dan kali ini tubuhku bercahaya.
 
Aku tahu kebenaran yang ketiga:
 
MANUSIA DAPAT HIDUP TANPA AYAH DAN IBUNYA
 
TAPI MANUSIA TIDAK AKAN DAPAT HIDUP TANPA TUHANNYA.
 
 
 
" Simon, Matrena, terima kasih atas kebaikan kalian berdua.
 
Aku telah mengetahui ketiga kebenaran itu, Tuhan telah mengampuniku.
 
Kini aku harus kembali.
 
Semoga kasih Tuhan senantiasa menyertai kalian sepanjang hidup."
 
Seiring dengan itu, tubuh Mikhail terangkat dan tubuhnya makin
bercahaya.
 
Mikhail kembali ke surga.
 
(Author Unknown)

Sebuah Ciuman Selamat Tinggal


Rapat Direksi baru saja berakhir.
Bob mulai bangkit berdiri dan menyenggol meja sehingga kopi tertumpah
ke atas catatan-catatannya. "Waduh, memalukan sekali aku ini, di usia
tua
kok
tambah ngaco". Semua orang ramai tergelak tertawa, lalu sebentar
kemudian, kami semua mulai menceritakan saat-saat yang paling
menyakitkan
di masa lalu dulu.
Gilirannya kini sampai pada Frank yang duduk terdiam mendengarkan
kisah
lain-lainnya.
 
"Ayolah Frank, sekarang giliranmu. Cerita dong, apa saat yang paling
tak
enak bagimu dulu."
Frank tertawa, mulailah ia berkisah masa kecilnya.
 
"Aku besar di San Pedro.
Ayahku seorang nelayan, dan ia cinta amat pada lautan.
Ia punya kapalnya sendiri, meski berat sekali mencari mata
pencaharian di
laut. Ia kerja keras sekali dan akan tetap tinggal di laut sampai ia
menangkap cukup ikan untuk memberi makan keluarga. Bukan cuma cukup
buat
keluarga kami sendiri, tapi juga untuk ayah dan ibunya dan saudara2
lainnya yang masih di rumah."
 
Ia menatap kami dan berkata, "Ahhh, seandainya kalian sempat bertemu
ayahku. Ia sosoknya besar, orangnya kuat dari menarik jala dan
memerangi
lautan demi mencari ikan. Asal kau dekat saja padanya, wuih, bau dia
sudah mirip kayak lautan. Ia gemar memakai mantel cuaca-buruk tuanya
yang
terbuat dari kanvas dan pakaian kerja dengan kain penutup dadanya.
Topi penahan hujannya sering ia tarik turun menutupi alisnya.
Tak perduli berapapun ibuku mencucinya, tetap akan tercium bau lautan
dan
amisnya ikan."
Suara Frank mulai merendah sedikit.
"Kalau cuaca buruk, ia akan antar aku ke sekolah.
Ia punya mobil truk tua yang dipakainya dalam usaha perikanan ini.
Truk itu bahkan lebih tua umurnya daripada ayahku.
Bunyinya meraung dan berdentangan sepanjang perjalanan.
Sejak beberapa blok jauhnya kau sudah bisa mendengarnya.
Saat ayah bawa truk menuju sekolah, aku merasa menciut ke dalam tempat
duduk, berharap semoga bisa menghilang.
Hampir separuh perjalanan, ayah sering mengerem mendadak dan lalu
truk tua ini akan menyemburkan suatu kepulan awan asap.
Ia akan selalu berhenti di depan sekali, dan kelihatannya setiap orang
akan berdiri mengelilingi dan menonton. Lalu ayah akan menyandarkan
diri
ke depan, dan memberiku sebuah ciuman besar pada pipiku dan memujiku
sebagai anak yang baik. Aku merasa agak malu, begitu risih.
Maklumlah, aku sebagai anak umur dua-belas, dan ayahku menyandarkan
diri
ke depan dan menciumi aku selamat tinggal!"
 
Ia berhenti sejenak lalu meneruskan, "Aku ingat hari ketika kuputuskan
aku sebenarnya terlalu tua untuk suatu kecupan selamat tinggal.
Waktu kami sampai ke sekolah dan berhenti, seperti biasanya ayah sudah
tersenyum lebar. Ia mulai memiringkan badannya ke arahku, tetapi aku
mengangkat tangan dan berkata, "Jangan, ayah".
Itu pertama kali aku berkata begitu padanya, dan wajah ayah tampaknya
begitu terheran.
 
Aku bilang, "Ayah, aku sudah terlalu tua untuk ciuman selamat tinggal.
Sebetulnya sudah terlalu tua bagi segala macam kecupan".
Ayahku memandangiku untuk saat yang lama sekali, dan matanya mulai
basah.
Belum pernah kulihat dia menangis sebelumnya. Ia memutar kepalanya,
pandangannya menerawang menembus kaca depan.
"Kau benar", katanya.
"Kau sudah jadi pemuda besar......seorang pria. Aku tak akan
menciumimu
lagi".
 
Wajah Frank berubah jadi aneh, dan air mata mulai memenuhi kedua
matanya,
ketika ia melanjutkan kisahnya.
"Tidak lama setelah itu, ayah pergi melaut dan tidak pernah kembali
lagi.
Itu terjadi pada suatu hari, ketika sebagian besar armada kapal
nelayan
merapat di pelabuhan, tapi kapal ayah tidak.
Ia punya keluarga besar yang harus diberi makan.
Kapalnya ditemukan terapung dengan jala yang separuh terangkat dan
separuhnya lagi masih ada di laut. Pastilah ayah tertimpa badai dan ia
mencoba menyelamatkan jala dan semua pengapung-pengapungnya."
 
Aku mengawasi Frank dan melihat air mata mengalir menuruni pipinya.
Frank menyambung lagi, "Kawan-kawan, kalian tak bisa bayangkan apa
yang
akan
kukorbankan sekedar untuk mendapatkan lagi sebuah ciuman pada
pipiku....
untuk merasakan wajah tuanya yang kasar......
untuk mencium bau air laut dan samudra padanya.....
untuk merasakan tangan dan lengannya merangkul leherku.
Ahh, sekiranya saja aku jadi pria dewasa saat itu.
Kalau aku seorang pria dewasa, aku pastilah tidak akan pernah memberi
tahu ayahku bahwa aku terlalu tua "untuk sebuah ciuman selamat
tinggal."
 
 
By: Thomas Charles Clary
 
Semoga kita tidak menjadi terlalu tua untuk menunjukkan cinta kasih
kita.
 
AKU TAK SELALU MENDAPATKAN APA YANG KUSUKAI,
OLEH KARENA ITU AKU SELALU MENYUKAI APAPUN YANG AKU DAPATKAN

Siapa tahu ada yang berminat ke perusahaan korea ?!?!?!?!?!


BAHASA KOREA :

Apa Kabar? = Anyong Aseo
Sampai Jumpa = Anyong
Kurang Ajar = Monyong
Tidak Lurus = Men Chong
Pria suka berdandan = Ben Chong
Tiba-tiba = She Khonyong Khonyong
Gak Punya Duit = Nao Dhong
Pengangguran = Nong Krong
Belanja = Bao Rhong
Merampok = Cho Long
Saringan Botol = Choo Rhong
Kendaraan Berkuda = An Dhong
Jual Mahal = Gheng Xi Dhong
Ngelamun = Bae Ngong
Mulut = Mon Chong
Sosis = Lap Chong
Suami dari adiknya Papa = Ku Chong
Kiss me = Soon Dhong Yang
Sweet memory = Choo Pang Dhong
Mobil mogok = Dho Rong Dhong
Lapangan luas = Park King Lot
Pantat gatal-gatal = Che Bhok Dhong
Nasi dibungkus daun pisang: Lon Thong
Cowok Cakep Kaca Mata: Bae Yong Jun
Cowok Cakep Rambut Lurus: Jang Dong Gun
Cowok Cakep Rambut Keriting: Ahn Jung Hwan
Bagian belakang = Bho Khong
Masih muda = brondhong
Pantat gatal = Ga ruk dong
Telur asin = Ndok A Chin
Sendok Gede = Cen Thong
Clana Sobek = Bho Long
Kepala Botak = Kin Clong
Lagi Menyanyi = Me Lo Lhong
Orang Hitam = Goo Shong
Bibir Ucup = Mo Nyong
Berbulu = Ge Ran Dhong
Jongkok Di Pinggir Kali = Be ol Dong

RESEP MASAKAN CINTA.....lucu jg :)


BAHAN:
1 pria sehat,
1 wanita sehat,
100% Komitmen,
2 pasang restu orang tua,
1 botol kasih sayang murni.

BUMBU:
1 balok besar humor,
25 gr rekreasi,
1 bungkus doa,
2 sendok teh telpon-telponan,
Semuanya diaduk hingga merata dan
mengembang.


TIPS:
Pilih pria dan wanita yang benar-benar matang dan
seimbang.
- Jangan yang satu terlalu tua dan yang lainnya
terlalu muda karena dapat mempengaruhi
kelezatan
(sebaiknya dibeli di toserba bernama TEMPAT
IBADAH, walaupun agak jual mahal tapi mutunya
terjamin.)
- Jangan beli di pasar yang bernama DISKOTIK
atau
PARTY karena walaupun modelnya bagus dan
harum
baunya tapi kadang menipu konsumen atau kadang
menggunakan zat pewarna yang bisa merusak
kesehatan.
- Gunakan Kasih sayang cap"IMAN, HARAP &
KASIH"
yang telah mendapatkan penghargaan ISO dari
Departemen Kesehatan dan Kerohanian.

CARA MEMASAK:
- Pria dan Wanita dicuci bersih, buang semua
masa
lalunya sehingga tersisa niat yang murni.
- Siapkan loyang yang telah diolesi dengan
komitmen dan restu orang tua secara merata.
- Masukkan niat yang murni ke dalam loyang dan
panggang dengan api cinta, merata sekitar 30
menit
di depan penghulu atau pendeta
- Biarkan di dalam loyang tadi dan sirami dengan
semua bumbu di atas.
- Kue siap dinikmati.


CATATAN:
Kue ini dapat dinikmati oleh pembuatnya seumur
hidup dan paling enak dinikmati dalam keadaan
kasih yang hangat. Tapi kalau sudah agak dingin,
tambahkan lagi humor segar secukupnya, rekreasi
sesuai selera, serta beberapa potong doa
kemudian
dihangatkan lagi di oven bermerek "Tempat Ibadah"
diatas api cinta.

Setelah mulai hangat, jangan lupa
telepon-teleponan bila berjauhan.

Selamat mencoba, dijamin semuanya halal koq !

Selamat menikmati dari 'love' bakery'

^_^

RENUNGAN - Hati Seorang Ayah


Suatu ketika, ada seorang anak wanita yang bertanya kepada Ayahnya,
tatkala tanpa sengaja dia melihat Ayahnya sedang mengusap wajahnya yang
mulai berkerut-merut dengan badannya yang terbungkuk-bungkuk, disertai
suara batuk-batuknya.

Anak wanita itu bertanya pada ayahnya : "Ayah, mengapa wajah Ayah kian
berkerut-merut dengan badan Ayah yang kian hari kian terbungkuk?"
Demikian pertanyaannya, ketika Ayahnya sedang santai di beranda.
Ayahnya menjawab :
"Sebab aku Laki-laki." Itulah jawaban Ayahnya. Anak wanita itu bergumam :
"Aku tidak mengerti." Dengan kerut-kening karena jawaban Ayahnya
membuatnya tercenung rasa penasaran.

Ayahnya hanya tersenyum, lalu dibelainya rambut anak wanita itu, terus
menepuk-nepuk bahunya, kemudian Ayahnya mengatakan : "Anakku, kamu
memang belum mengerti tentang Laki-laki." Demikian bisik Ayahnya, yang
membuat anak wanita itu tambah kebingungan.

Karena penasaran, kemudian anak wanita itu menghampiri Ibunya lalu
bertanya kepada Ibunya : "Ibu, mengapa wajah Ayah jadi berkerut-merut
dan badannya kian hari kian terbungkuk? Dan sepertinya Ayah menjadi
demikian tanpa ada keluhan dan rasa sakit?"

Ibunya menjawab : "Anakku, jika seorang Laki-laki yang benar-benar
bertanggung-jawab terhadap keluarga itu memang akan demikian." Hanya
itu jawaban sang Ibu. Anak wanita itupun kemudian tumbuh menjadi dewasa,
tetapi dia tetap saja penasaran, mengapa wajah Ayahnya yang tadinya
tampan menjadi berkerut-merut dan badannya menjadi terbungkuk-bungkuk?

Hingga pada suatu malam, anak wanita itu bermimpi. Di dalam impian itu
seolah-olah dia mendengar suara yang sangat lembut, namun jelas sekali.

Dan kata-kata yang terdengar dengan jelas itu ternyata suatu rangkaian
kalimat sebagai jawaban rasa penasarannya selama ini.

"Saat Ku-ciptakan Laki-laki, aku membuatnya sebagai pemimpin keluarga
serta sebagai tiang penyangga dari bangunan keluarga, dia senantiasa
akan berusaha untuk menahan setiap ujungnya, agar keluarganya merasa
aman, teduh dan terlindungi."

"Ku-ciptakan bahunya yang kekar dan berotot untuk membanting-tulang
menghidupi seluruh keluarganya dan kegagahannya harus cukup kuat pula
untuk melindungi seluruh keluarganya."
"Ku-berikan kemauan padanya agar selalu berusaha mencari sesuap nasi
yang berasal dari tetes keringatnya sendiri yang halal dan bersih, agar
keluarganya tidak terlantar, walaupun seringkali dia mendapat cercaan
dari anak-anaknya."
"Ku-berikan keperkasaan dan mental baja yang akan membuat dirinya
pantang menyerah, demi keluarganya dia merelakan kulitnya tersengat
panasnya matahari, demi keluarganya dia merelakan badannya berbasah kuyup kedinginan karena tersiram hujan dan dihembus angin, dia relakan tenaga perkasanya
terkuras demi keluarganya, dan yang selalu dia ingat, adalah disaat
semua orang menanti kedatangannya dengan mengharapkan hasil dari
jerih-payahnya."

"Kuberikan kesabaran, ketekunan serta keuletan yang akan membuat
dirinya selalu berusaha merawat dan membimbing keluarganya tanpa adanya keluh
kesah, walaupun disetiap perjalanan hidupnya keletihan dan kesakitan
kerapkali menyerangnya."

"Ku-berikan perasaan keras dan gigih untuk berusaha berjuang demi
mencintai dan mengasihi keluarganya, didalam kondisi dan situasi apapun
juga, walaupun tidaklah jarang anak-anaknya melukai perasaannya, melukai
hatinya. Padahal perasaannya itu pula yang telah memberikan perlindungan rasa
aman pada saat dimana anak-anaknya tertidur lelap. Serta sentuhan
perasaannya itulah yang memberikan kenyamanan bila saat dia sedang
menepuk-nepuk bahu anak-anaknya agar selalu saling menyayangi dan
saling mengasihi sesama saudara."

"Ku-berikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan
pengertian dan kesadaran terhadap anak-anaknya tentang saat kini dan
saat mendatang, walaupun seringkali ditentang bahkan dilecehkan oleh
anak-anaknya."

"Ku-berikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan
pengetahuan dan menyadarkan, bahwa Isteri yang baik adalah Isteri yang
setia terhadap Suaminya, Isteri yang baik adalah Isteri yang senantiasa
menemani, dan bersama-sama menghadapi perjalanan hidup baik suka maupun
duka, walaupun seringkali kebijaksanaannya itu akan menguji setiap
kesetiaan yang diberikan kepada Isteri, agar tetap berdiri, bertahan,
sejajar dan saling melengkapi serta saling menyayangi."

"Ku-berikan kerutan diwajahnya agar menjadi bukti, bahwa Laki-laki itu
senantiasa berusaha sekuat daya pikirnya untuk mencari dan menemukan
cara agar keluarganya bisa hidup didalam keluarga bahagia dan badannya
yang terbungkuk agar dapat membuktikan, bahwa sebagai Laki-laki yang
bertanggung jawab terhadap seluruh keluarganya, senantiasa berusaha
mencurahkan sekuat tenaga serta segenap perasaannya, kekuatannya,
keuletannya demi kelangsungan hidup keluarganya."

"Ku-berikan kepada Laki-laki tanggung-jawab penuh sebagai pemimpin
keluarga, sebagai tiang penyangga, agar dapat dipergunakan dengan
sebaik-baiknya. Dan hanya inilah kelebihan yang dimiliki oleh
Laki-laki, walaupun sebenarnya tanggung-jawab ini adalah amanah di dunia."

Terbangun anak wanita itu, dan segera dia berlari, berlutut dan berdoa
hingga menjelang subuh. Setelah itu dia hampiri kamar Ayahnya yang
sedang berdoa, ketika Ayahnya berdiri anak wanita itu merengkuh dan
mencium telapak tangan Ayahnya. "Aku mendengar dan merasakan bebanmu,
Ayah."

Sanggupkah Tuhan Menerima Musibah?


Sudah lama aku tidak bertemu Mbah Maridjan,
dikarenakan aku harus pergi ke luar kota menuntut
ilmu. Setelah gempa di Jogja yang membikin hati miris
itu, pesantren tempat aku belajar libur, semua santri
disuruh pulang. Aku segera teringat Mbah Maridjan,
bagaimana kabar orang tua itu yang dulu sering
mengajari aku filsafat Jawa.

Tergopoh2 aku menemui Mbah Maridjan, kucari tadi di
rumahnya beliau tidak ada. Setengah berlari aku
menyusuri pematang sawah yang masih agak basah, sambil
sesekali menghirup aroma batang padi yang merasuk.
Kata tetangga Mbah Maridjan, beliau sering menyendiri
di gubug di tengah sawah kalau sore2 begini. Dari jauh
sudah kulihat gubug kecil beratapkan daun kelapa dan
damen ( batang padi kering). Setelah dekat, kulihat
Mbah Maridjan yang sedang menyalakan rokok
lintingannya. Baunya menyengat, tetapi segar apalagi
ditambah suasana sore yang semilir.

“ Mbah, Mbah, bagaimana ini Mbah, musibah datang silih
berganti, sepertinya sudah waktunya kita melakukan
tobat nasional. Mbah Maridjan malah tenang2 saja”

“ Musibah itu bisa jadi rahmat, sebagaimana rahmat
juga bisa jadi musibah. Ini hanya kejadian alam biasa
Le.”

“ Gimana sih Mbah, musibah ini peringatan dari Tuhan
Mbah atas dosa2 kita, sekaligus juga ujian apakah kita
tabah menghadapi musibah.”

“ Tuhan pun tak sanggup menerima musibah, Le”

Aku seperti ditampar langsung di otakku, apa pula
maksud Mbah Maridjan ini.

“ Hhhmm, maksud Mbah Maridjan…?”

“ Tuhan itu Le, baru diduakan saja sudah marah2, baru
perintahnya tidak dilaksanakan saja sudah ngirim
bencana, lha piye…Tuhannya saja nggak tabah,
ciptaannya bisa lebih gak tabah lagi”

“ Sebentar2, aku masih tidak mengerti apa maksud Mbah
Maridjan.”

“ Kamu ini pancen bodho Le, kamu ingat kisah Adam dan
Hawa, yang dikeluarkan dari surga hanya karena makan
buah Khuldi yang terlarang itu, itu kan kesalahan
sepele, tapi Tuhan marah, terus Adam dan Hawa
ditundung dari surga. Terus kamu ingat kisah Iblis dan
Adam, Iblis disuruh menghormati Adam, suruh sujud di
depan Adam, lha wong Iblis itu pinter, ya dia nggak
mau, dia hanya mau sujud dan hormat kepada Tuhan,
lagi2 Tuhan marah, purik, akhirnya Iblis dilaknat.
Ingat pulakah kau tentang Sodom dan Gomora, hanya
karena homoseksualitas saja seluruh kota dihancurkan.
Tuhannya saja kurang dewasa, jangan pula salahkan
umatnya kalau kekanak2an. “

Aku hanya bengong, mendengarkan tutur kata Mbah
Maridjan yang mengalir sambil mengepulkan asap rokok
kretek di jari2 tangannya. Sungguh2 gila Mbah Maridjan
ini, berani2nya menggoyang tahta diktatur Tuhan.

“ Aceh sudah lebur, Jogja sudah hancur, Merapi
njeblug, kita harus lebih banyak berdoa Mbah Maridjan,
supaya Tuhan mengampuni dosa2 kita.”

“ Hahahahahaha…………………..”

Mbah Maridjan tertawa terkekeh2, sampai terbatuk2,
sambil melihat dengan pandangan lucu kepadaku.

“ Kamu ini Le, produk jaman modern koq berpikirnya
idiot kaya gitu. Kalau banyak orang berdosa, dosa
mereka kan kepada alam dan sesama manusia. Minta ampun
lah kepada alam, dengan merawat mereka dengan baik,
menjadi bagian dari alam bukan malah memperkosanya.
Minta ampunlah kepada manusia2, berhenti korupsi,
bantulah para fakir miskin, peliharalah yatim piatu,
jalankan negara dengan jujur dan bersih. Itu yang
namanya mohon ampun, kalau mohon ampunnya cuma sama
Tuhan, kamu malah akan ditertawakan sama Dia.”

“ Ya, tapi Mbah Maridjan, kita perlu pertolongan Tuhan
untuk bisa lepas dari derita ini.”

“ Percayalah Le, Tuhan itu egois. Kita harus membantu
diri kita sendiri, kamu boleh minta tolong sampai air
matamu habis, tapi kalau kamu tidak memperbaiki dirimu
sendiri, ya percuma. Lihat itu orang Jepang, kena
gempa mereka itu, tapi terus mereka belajar, bikin
gedung dan rumah yang tahan gempa. Lihat orang
Belanda, kena banjir banding mereka itu, tapi mereka
bangkit, bikin dam2 raksasa, sekarang selamatlah
mereka dari petaka banjir. Lihat orang2 Eropa,
dikaruniai penyakit pes, sampai separuh penduduknya
mati, tapi mereka memperbaiki diri, dan hidup sehatlah
mereka sekarang. Bencana itu untuk dipelajari, bukan
untuk disesali.”

Dongkol hatiku bukan main sama Mbah Maridjan, dari
dulu dia selalu bisa membolak-balik perpektif. Dan dia
sudah berani mempermainkan syaraf otakku sekarang,
tapi aku berusaha menguasai diriku.

“Mbah, kita ini manusia yang egois. Tuhan telah
menciptakan alam dengan sempurna, dan menitahkan kita
sebagai kalifahnya di dunia ini. Kitalah yang telah
tidak sanggup memegang amanat Tuhan itu.”

Mbah Maridjan kembali meringis, seolah mengejek.
Matanya yang kecil bulat itu menatap jauh ke hamparan
sawah di depannya.

“ Oalah Le, kalau mau jujur sih. Karena konsep Tuhan
itu diejawantahkan oleh manusia yang egosentris,
akhirnya manusia tambah kelihatan egois. Seharusnya
kau yang sekolah itu tahu hal kayak gitu, dan itu
pandangan antroposentrismu, kuno sekali cara
berpikirmu Le. Manusia itu bagian alam Le, bukan
penguasa alam.”

“ Ya biarin Mbah, pandangan antroposentris kan lebih
baik daripada percaya hal2 mistis kaya sampeyan, ada
Nyi Roro Kidul, Tombak Kiai Plered, Kebo Kiai Slamet
hahahaha………., kebo koq dianggep kiai.”

“ Lho siapa bilang Mbah percaya sama Nyi Roro Kidul,
Nyi Roro Kidul itu kan cuman mitos Le, para kawulo
cilik seperti kita ini kan sering ditipu sama para
penggede2 istana. Raja2 Mataram jaman dulu malu karena
di Segoro Lor (Laut Jawa= red) mereka kalah dengan
tentara Kumpeni Walanda dan tentara Portugis, jadi
mereka menghibur diri dengan menciptakan mitos Nyi
Roro Kidul, seolah2 mereka masih menguasai Segoro
Kidul (Samudra Hindia= red), memperistri penguasa
Segoro Kidul. Cilokone, kita semua percaya adanya Nyi
Roro Kidul, kekuatan pusaka2, kita ini memang bodho
koq Le, wis bodho mbodhoni wong mesisan.”

Lagi2 Mbah Maridjan bikin aku klenger, dia bilang dia
tidak percaya Nyi Roro Kidul, ngoyoworo (mengada2)
saja Mbah tua satu ini.

“ Mbah, musibah demi musibah ini menyelimuti kita,
kita harus bergerak Mbah.”

“ Simbah di sini saja Le, mengabdikan diri untuk
penduduk Merapi. Kamu yang masih muda yang harus
bergerak, sadarkan orang dari tidurnya, sadarkan orang
dari sikap fatalis menghadapi musibah. Sudah sana,
belajar yang bener, santri kalau kerjaannya main PS
terus ya kayak kamu ini jadinya. Ilmune nggedabus,
pangertene mbladhus. Belajar sana bagaimana mengatur
bantuan yang tepat guna dan tepat sasaran, jangan
hanya kitab kuning kau pelajari, kitab putih pun harus
kau pelajari, dan jangan lupa sekarang banyak kitab
digital yang bisa dipelajari.“

Sambil menggerakkan tangannya menyuruh aku pergi, Mbah
Maridjan merogoh sakunya, dikeluarkannya selembar duit
50 ribu.

“ Ini hanyalah lembaran 50 ribuan Le, kuserahkan
padamu. Duit ini akan benar2 jadi milikmu kalau kamu
memberikannya kepada yang membutuhkan, banyak itu
sepanjang kaki Merapi.”

Dilemparkannya duit itu kepadaku, aku mengambilnya
sambil bingung memikirkan apa maksud kata2 Mbah

*** Wah cerita yang cukup meng-atheis-kan...Aku ga akan kasi komentar apa-apa, kalian yang baca juga silahkan berkomentar dalam hati kalian masing-masing secara pribadi saja daripada nantinya muncul kontoversi...peaceee!!
Maridjan yang terakhir tadi.