Hidup saya bahagia sih!
Anak laki-laki itu sedang berpose. Dengan latar belakang dinding berwarna putih, ia dituntut untuk menampilkan seraut wajah sendu diwajahnya. Tetapi, bukan wajah sendu yang ia berikan, melainkan senyuman, bahkan sederet tawa. Orang dibelakang kamera berkata, "aduh.. jangan ketawa, ayo kasih saya wajah sedih. Coba pikirkan sesuatu yang membuat kamu sedih," sambil mengucapkan serentetan contoh hal-hal yang mampu membuat anak itu sedih.
Anak laki-laki itu terdiam, menutup matanya dan mencoba membayangkan peristiwa demi peristiwa dalam hidupnya yang pernah membuat ia sedih. Hening sejenak, dan orang dibelakang kamera itu sudah waspada dengan ujung telunjuknya. Terbangun dari mimpi singkatnya, anak itu kembali memberikan senyuman. "Lho kenapa ketawa lagi? Ayo donk kasih saya wajah sedih," ujar sang juru kamera. "Wuah, gimana ya.. hidup saya bahagia sih!"
Sebaris kalimat pendek dari bocah berumur 13 tahun itu sempat membuat saya tersentak sesaat.
Ditengah pengerjaan design suatu website, saya butuh profil wajah anak kecil yang mencerminkan ketidak berdayaan, ketulusan, kesedihan dan kekecewaan untuk memperkuat tema yang ingin saya angkat. Mengapa pilihan saya jatuh pada anak laki-laki itu? Karena saya hampir tidak pernah melihat dia tersenyum dan bercanda dengan anak-anak lainnya. Raut wajahnya selalu sendu.
Mungkin kalimat singkatnya menghentak karena apa yang saya lihat, ternyata bukan apa yang sebenarnya ada. Mungkin juga itu hanya kalimat asal yang terlontar begitu saja dari mulutnya. Saya tidak tahu dan tidak akan pernah tahu. Tapi yang pasti, anak laki-laki itu jadi membuat saya berpikir tentang arti kebahagiaan.
Tadi malam saya mendapat kesempatan untuk melihat sisi lain dari dunia. Dunia malam dengan hingar bingar musik, permainan lampu warna warni, area 10 x 10 meter yang dipenuhi orang-orang yang menggerakkan badan dan menggoyangkan pinggul mengikuti dentaman musik.
Pesta orang-orang dewasa atau orang-orang yang berpikir dirinya dewasa, saya juga tidak tahu. Pesta yang masih terus berlanjut sampai sayap-sayap matahari mulai muncul samar-samar dari balik awan.
Apakah mereka mendapat kebahagiaan disana? Mungkin. Kebahagiaan sesaat disaat suara musik terlalu keras membuat mereka tidak bisa berpikir yang lain selain menggoyangkan badan. Kebahagiaan yang hanya bertahan selama beberapa putaran jarum pendek jam tangan. Dan keesokan harinya, harus menjalani kehidupan normal lagi, dan menemukan banyak sekali kerikil-kerikil menyebalkan di ruas jalan yang mereka tempuh.
Seringkali hari saya dirusak oleh hal-hal kecil, bangun untuk kuliah dipagi hari tapi disambut oleh badai, sinar dan panas matahari yang semakin menyengat tiap hari, serangga nakal yang masuk ke kamar, ketidak pedulian dari orang yang saya kasihi, profesor yang menyebalkan, ketakutan pada ujian yang akan datang, dan masih banyak lagi.
Padahal, perasaan-perasaan negatif yang keluar itu toh tidak akan mengubah hal yang menyebalkan menjadi menyenangkan. Sewaktu saya mengambil sikap menentang untuk memakai kostum tradisional untuk suatu pertunjukan meskipun saya tahu menentang pun tidak akan mengubah apa-apa, teman saya berkata, 'it will be easier if you cooperate.' Tetapi untuk sesaat saya merasa senang untuk menentang dan membuat orang lain tahu bahwa sebenarnya saya tidak suka. Walaupun itu toh tidak akan mengubah apa-apa.
Hari-hari terakhir ini, saya berusaha untuk bahagia, bahkan ketika keadaan seakan tidak mengijinkan saya untuk bahagia. Apakah kebahagiaan harus dicari? Atau saya bisa mengambil sikap positif, menerima dan menjalani dari waktu ke waktu, dan merasa bahagia apapun yang terjadi? Menyadari kalau saya hanya melewati hal-hal tersebut satu kali dalam hidup saya, dan percaya apapun yang terjadi dalam hidup saya, itu yang terbaik untuk saya.
Akhir kata, saya hanya bisa berharap, bila suatu saat nanti ada orang yang menyuruh saya berpose sedih, saya bisa dengan yakin dan percaya berkata 'aduh maaf nga bisa, hidup saya bahagia sih!'
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home