weLcoMe tO juLie'S wOrLd

thank you for visiting my blog...have a good time and enjoy it!! ^-^

Thursday, December 15, 2005

Sudahlah, Maafkan Saja !!

Bayangkan Anda sedang menghadiri pesta yang amat meriah. Semua
orang
tampil dengan pakaian terbaik. Makanan yang dihidangkanpun tampak
lezat dan mengundang selera. Saat Anda antre untuk mengambil
makanan,
tiba-tiba seseorang yang sangat Anda percaya berbisik di telinga
Anda,
''Hati-hati, banyak makanan tak halal disini, bahkan ada
beberapa yang beracun!''

Saya berani menjamin Anda akan mengurungkan niat mengambil makanan.
Boleh jadi Anda pun langsung pulang ke rumah. Anda benar, hanya
orang
bodohlah yang mau menyantap makanan tersebut. Kita tak mau makan
sembarangan. Kita sangat peduli pada kesehatan kita.

Anehnya, kita sering -- bahkan dengan sengaja -- memasukkan
''makanan-makanan beracun'' ke dalam pikiran kita. Kita tak sadar
bahwa inilah sumber penderitaan kita. Salah satu makanan yang
paling
berbahaya tersebut bernama: ketidakmauan kita untuk memaafkan orang
lain!

Ketidakmauan memaafkan adalah penyakit berbahaya yang menggerogoti
kebahagiaan kita. Kita sering menyimpan amarah. Kita marah karena
dunia berjalan tak sesuai dengan kemauan kita. Kita marah karena
pasangan, anak, orang tua, atasan, bawahan, dan rekan kerja, tak
melakukan apa yang kita inginkan. Lebih parah lagi, kita memendam
kemarahan ini berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.

Memang banyak sekali kejadian yang memancing emosi kita. Pengendara
motor yang memaki kita, mobil yang menyalib dan hampir membuat kita
celaka, orang yang membobol ATM kita, politisi yang hanya
memperjuangkan perutnya sendiri, adik yang sering minta bantuan
tapi
tak pernah mengucapkan terima kasih, pembantu yang membohongi kita,
maupun bos yang pelitnya luar biasa. Kita mungkin berpikir bahwa
orang-orang tak tahu diri ini sudah sepantasnya kita benci. Tapi
kita
lupa bahwa kebencian yang kita simpan hanyalah merugikan kita
sendiri.

Penelitian menunjukkan ketidakrelaan memaafkan orang lain memiliki
dampak hebat terhadap tubuh kita: menciptakan ketegangan,
mempengaruhi
sirkulasi darah dan sistem kekebalan, meningkatkan tekanan jantung,
otak dan setiap organ dalam tubuh kita. Kemarahan yang terpendam
mengakibatkan berbagai penyakit seperti pusing, sakit punggung,
leher,
dan perut, depresi, kurang energi, cemas, tak bisa tidur,
ketakutan,
dan tak bahagia.

Baru-baru ini saya sempat berinteraksi dengan sekelompok mahasiswa
yang mengeluhkan perasaan tertekan dan tak bahagia. Ternyata,
kebanyakan dari mereka memendam berbagai kemarahan, baik kepada
orang
tua maupun orang-orang di sekitar mereka. Salah seorang mengaku
telah
10 tahun memendam kebencian kepada wanita yang menjadi istri kedua
ayahnya. Si ayah yang dijuluki orang paling sholeh di kantornya
tanpa
diduga mempunyai ''simpanan.'' Wanita ini kemudian dinikahinya, dan
akhirnya meninggal karena stroke lima tahun lalu. Tapi, kemarahan
dan
kebencian si anak hingga kini belum juga mereda.

Musuh kita sebenarnya bukanlah orang yang membenci kita tetapi
orang
yang kita benci. Ada cerita mengenai seorang lelaki bekas tapol di
zaman Orde Baru yang mengunjungi kawannya sesama eks tapol. Sambil
mengobrol si kawan bertanya, ''Apakah kamu sudah melupakan rezim
Orde
Baru?'' Jawabnya, ''Ya, sudah.'' Si kawan kemudian berkata, ''Saya
belum. Saya masih sangat membenci mereka.'' Lelaki itu tertawa
kecil
dan berkata, ''Kalau begitu, mereka masih memenjara dirimu.''

Untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu mengubah cara pandang kita.
Sumber kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan di luar.
Karena
itu jangan terlalu memusingkan perilaku orang lain. Sebaliknya,
belajarlah memaafkan. Kunci memaafkan adalah memahami
ketidaktahuan.
Banyak orang yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuan.
Kalaupun
mereka sengaja melakukannya, itupun karena mereka sebenarnya tak
tahu.
Mereka tak tahu bahwa kejahatan bukanlah untuk orang lain tetapi
untuk
mereka sendiri.

Orang yang suka memaki dan bersikap kasar sebenarnya tak menyadari
bahwa mereka sedang menzalimi dirinya sendiri. Suatu ketika ia akan
kena batunya. Inilah konsekuensi logis dari hukum alam.

Mempraktikkan konsep memaafkan akan membuat hidup lebih ringan.
Saya
ingat, saat sedang duduk menunggu anak saya sekolah pada minggu
lalu,
seorang ibu yang lewat menubrukkan tasnya yang cukup berat ke
kepala
saya, tanpa permisi apalagi minta maaf. Orang-orang yang melihat
kejadian itu menggeleng-gelengkan kepala sambil mencela
kecerobohannya. Saya mencoba mempraktikkan konsep ini, dan langsung
memaafkannya. Ibu itu kelihatannya sedang kalut. Tak mungkin ia
sengaja menabrak saya begitu saja.

Untuk mencapai kebahagiaan, berikanlah maaf kepada orang lain.
Hentikan kebiasaan menyalahkan orang lain. Ingatlah, kesempurnaan
manusia justru terletak pada ketidaksempurnaannya.

oleh : Arvan Pradiansyah - Dosen UI dan pengamat manajemen SDM

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home